“Cah
dolan dha mrenea, cah dolan dha mrenea, yo ayo padha kumpul pul, kumpul ..kumpul.....”
Ajakan untuk berkumpul
itu segera disahut oleh beberapa anak,
dan serentak anak-anak lain yang mendengar lagu itu berlarian masuk kelas. Ya,
lagu tersebut lebih merupakan suatu penanda
bagi dimulainya aktivitas belajar hari itu. Merupakan suatu kesepakatan
bersama, jika terdengar lagu itu dinyanyikan maka tanpa harus disuruh lagi
mereka akan segera berkumpul dan saling mengingatkan bahwa kegiatan di dalam
kelas akan segera dimulai. Bisa dikatakan bahwa lagu tersebut merupakan
pengganti lonceng pada umumnya di sekolah-sekolah formal. Lagu itu akan
dinyanyikan berulang-ulang sampai semua anak memasuki kelas, dan siap untuk
memulai aktivitas. Dibuka dengan doa pagi dengan sikap masing-masing anak yang
berbeda – ada yang membuka dua tangan,
ada yang menangkupkan kedua telapak tangan, semua sah-sah saja dan mereka
lakukan dengan senang hati – resmilah proses belajar hari itu dimulai.
Fasilitator mengajak untuk menyanyi sambil bertepuk tangan, melompat dan
menari. Beberapa anak nampak bersemangat mengikuti, namun satu dua anak tetap
saja diam dan hanya mengawasi. Selangkah demi selangkah anak tersebut mundur,
menjauh dan mencari kegiatan lain. Ketika menemukan kertas dan pensil warna,
asyiklah anak tersebut dengan menuangkan imajinasi dalam coretan-coretan di
kertas.
Hal demikian biasa
terjadi dalam proses belajar di TA Salam, dimana beberapa anak memiliki
ketertarikan lain dari aktivitas yang diberikan oleh fasilitator, sehingga
tidak mau bergabung bersama teman temannya. Salahkah anak tersebut? Tentu saja
tidak, sepanjang ia memiliki alasan yang kuat mengapa ia tidak mau bergabung.
Pastinya juga bukan sebuah argumentasi ala
orang dewasa, untuk mengungkapkan kenapa ia tidak mau bergabung. Dengan
gelengan kepala, atau mengatakan tidak suka, fasilitator akan mengajak anak
tersebut mencari kegiatan lain yang
disukai, karena tentunya tidak semua anak mampu mengungkapkan dengan bahasa
verbal atas apa yang diinginkan. Disinilah peran fasilitator di Salam,
bagaimana ia mampu menemukan potensi-potensi yang dimiliki oleh anak-anak, yang
tentu saja masing-masing anak berbeda. Dengan mengamati aksi anak-anak di awal
kegiatan, fasilitator akan mengenali potensi si anak, sehingga tidaklah akan
terjadi pemaksaan pada anak untuk ikut berkegiatan. Seorang anak yang tidak
suka menari, tidak akan nyaman dan senang hati melakukannya. Pada beberapa anak
akan merasa terpaksa, bahkan bisa membuat anak menangis. Jika terjadi hal yang
demikian, maka proses belajar selanjutnya pastilah tidak lagi menyenangkan.
Anak akan tertekan, sehingga esensi bermain itu juga belajar tidak tercapai.
Mengenali potensi anak
sejak dini sangatlah penting, karena dari situ fasilitator bersama pendamping
lain (baca: ortu) tinggal mengikuti
arah perkembangan anak dengan semakin menggali bakat yang dimiliki. Yang pada
gilirannya nanti dengan mengenali potensi yang dimiliki, anak akan mampu
membangun kemandirian karena memiliki rasa percaya diri.
Anak-anak usia TA
merupakan masa peralihan. Dari usia play group dimana kelekatan dengan orang
tua masih begitu kuat, beralih pada masa dimana anak-anak sudah mulai menemukan
sebuah komunitas bersama teman-temannya. Sebuah komunitas yang bisa saja memiliki
persamaan kesenangan ataupun keinginan. Komunitas pertemanan inilah yang kadang
‘menyembunyikan’ potensi seorang anak, karena ada anak yang menjadi pengekor
teman akrabnya. Padahal sebenarnya dia memiliki potensi sendiri. Disinilah yang
coba diterapkan dalam proses pembelajaran yang ada di Salam, bahwa segala
aktivitas yang dilakukan oleh anak-anak berdasarkan pada seberapa jauh anak
tersebut menaruh minat pada suatu kegiatan. Meskipun tidak serta merta terjebak
dalam pembiaran, bagaimanapun fasilitator memberi motivasi dan mendampingi
untuk mau melakukan aktivitas sesuai ketertarikannya. ( Widhy – Fasilitator TA Salam,
April 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar