Minggu, 12 Mei 2013

Melihat Aksi Menggali Potensi


“Cah dolan dha mrenea, cah dolan dha mrenea, yo ayo padha kumpul pul, kumpul ..kumpul.....”
Ajakan untuk berkumpul itu segera  disahut oleh beberapa anak, dan serentak anak-anak lain yang mendengar lagu itu berlarian masuk kelas. Ya, lagu tersebut lebih merupakan suatu penanda  bagi dimulainya aktivitas belajar hari itu. Merupakan suatu kesepakatan bersama, jika terdengar lagu itu dinyanyikan maka tanpa harus disuruh lagi mereka akan segera berkumpul dan saling mengingatkan bahwa kegiatan di dalam kelas akan segera dimulai. Bisa dikatakan bahwa lagu tersebut merupakan pengganti lonceng pada umumnya di sekolah-sekolah formal. Lagu itu akan dinyanyikan berulang-ulang sampai semua anak memasuki kelas, dan siap untuk memulai aktivitas. Dibuka dengan doa pagi dengan sikap masing-masing anak yang berbeda – ada yang membuka dua tangan, ada yang menangkupkan kedua telapak tangan, semua sah-sah saja dan mereka lakukan dengan senang hati – resmilah proses belajar hari itu dimulai. Fasilitator mengajak untuk menyanyi sambil bertepuk tangan, melompat dan menari. Beberapa anak nampak bersemangat mengikuti, namun satu dua anak tetap saja diam dan hanya mengawasi. Selangkah demi selangkah anak tersebut mundur, menjauh dan mencari kegiatan lain. Ketika menemukan kertas dan pensil warna, asyiklah anak tersebut dengan menuangkan imajinasi dalam coretan-coretan di kertas.
Hal demikian biasa terjadi dalam proses belajar di TA Salam, dimana beberapa anak memiliki ketertarikan lain dari aktivitas yang diberikan oleh fasilitator, sehingga tidak mau bergabung bersama teman temannya. Salahkah anak tersebut? Tentu saja tidak, sepanjang ia memiliki alasan yang kuat mengapa ia tidak mau bergabung. Pastinya juga bukan sebuah argumentasi ala orang dewasa, untuk mengungkapkan kenapa ia tidak mau bergabung. Dengan gelengan kepala, atau mengatakan tidak suka, fasilitator akan mengajak anak tersebut  mencari kegiatan lain yang disukai, karena tentunya tidak semua anak mampu mengungkapkan dengan bahasa verbal atas apa yang diinginkan. Disinilah peran fasilitator di Salam, bagaimana ia mampu menemukan potensi-potensi yang dimiliki oleh anak-anak, yang tentu saja masing-masing anak berbeda. Dengan mengamati aksi anak-anak di awal kegiatan, fasilitator akan mengenali potensi si anak, sehingga tidaklah akan terjadi pemaksaan pada anak untuk ikut berkegiatan. Seorang anak yang tidak suka menari, tidak akan nyaman dan senang hati melakukannya. Pada beberapa anak akan merasa terpaksa, bahkan bisa membuat anak menangis. Jika terjadi hal yang demikian, maka proses belajar selanjutnya pastilah tidak lagi menyenangkan. Anak akan tertekan, sehingga esensi bermain itu juga belajar tidak tercapai.
Mengenali potensi anak sejak dini sangatlah penting, karena dari situ fasilitator bersama pendamping lain (baca: ortu) tinggal mengikuti arah perkembangan anak dengan semakin menggali bakat yang dimiliki. Yang pada gilirannya nanti dengan mengenali potensi yang dimiliki, anak akan mampu membangun kemandirian karena memiliki rasa percaya diri.
Anak-anak usia TA merupakan masa peralihan. Dari usia play group dimana kelekatan dengan orang tua masih begitu kuat, beralih pada masa dimana anak-anak sudah mulai menemukan sebuah komunitas bersama teman-temannya. Sebuah komunitas yang bisa saja memiliki persamaan kesenangan ataupun keinginan. Komunitas pertemanan inilah yang kadang ‘menyembunyikan’ potensi seorang anak, karena ada anak yang menjadi pengekor teman akrabnya. Padahal sebenarnya dia memiliki potensi sendiri. Disinilah yang coba diterapkan dalam proses pembelajaran yang ada di Salam, bahwa segala aktivitas yang dilakukan oleh anak-anak berdasarkan pada seberapa jauh anak tersebut menaruh minat pada suatu kegiatan. Meskipun tidak serta merta terjebak dalam pembiaran, bagaimanapun fasilitator memberi motivasi dan mendampingi untuk mau melakukan aktivitas sesuai ketertarikannya. ( Widhy – Fasilitator TA Salam, April 2012)